KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul Penafsiran dan
Cara Mengisi Kekosongan Hukum.
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum.
Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca tentang
penafsiran atau interpretasi hukum dan cara mengisi kekosonan hukum.
Penulis
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam rangka
penyusunan makalah ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat
pada makalah ini. Maka dari itu, penulis memohon maaf atas segala kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Selain itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun sebagai masukan untuk perbaikan yang akan datang.
Bandung,
November 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam kehidupan sehari-hari
memiliki banyak aktivitas, tidak dipungkiri bahwa di dalam kehidupan manusia
memiliki banyak sekali masalah yang berhubungan dengan hukum. Namun tidak semua
masalah yang ada di masyarakat sesuai dengan apa yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan, karena masalah yang terjadi bersifat dinamis artinya selalu
berkembang. Sedangkan, peraturan yang mengatur hal-hal yang terjadi di
masyarakat bersifat statis dan formal, maksudnya tidak dapat begitu saja
diganti apabila sudah tidak sesuai lagi. Oleh karena itu dibutuhkan suatu
sistem yang menjamin kepastian hukum untuk hal-hal yang belum atau tidak lagi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sistem yang dimaksud adalah
penafsiran hukum yaitu agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum.
Penafsiran
hukum dilakukan oleh hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang dihadapinya,
khususnya apabila peraturan perundang-undangnya sudah ketinggalan zaman dan
maamakai istilah-istilah yang tidak jelas atau dapat menimbulkan penafsiran
yang berbeda. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan harus berusaha
memberikan keputusan seadil-adilnya, tentunya dengan mengingat ketentuan hukum
tertulis maupun tidak tertulis serta nilai-nilai hukum yang hidup di
masyarakat.
Oleh karena
itu, kita sebagai generasi muda sangat perlu mempelajari ilmu hukum untuk kita
jadikan landasan dalam menjalani kehidupan sehari-hari terutama ketika terjadi
peristiwa yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan atau tidak
diatur juga dalam kebiasaan atau norma-norma yang ada di masyarakat. Hal itu
perlu untuk dipelajari karena menyangkut kehidupan kita di lingkungan
masyarakat yang kebanyakan masyarakatnya kurang mengetahui dan paham akan hukum.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan penafsiran hukum?
2.
Bagaimana metode-metode
penafsiran hukum?
3.
Bagaimana cara
menerapkan metode penafsiran hukum?
4.
Bagaimana cara
mengisi kekosongan hukum?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari penafsiran hukum.
2.
Untuk
mengetahui macam-macam metode penafsiran hukum beserta contohnya.
3.
Untuk
mengetahui dan memahami cara menerapkan metode penafsiran hukum.
4.
Untuk
mengetahui cara mengisi kekosongan hukum.
D.
Manfaat
Penulisan
1.
Dapat
mengetahui pengertian penafsiran hukum.
2.
Dapat
mengetahui macam-macam metode penafsiran hukum beserta contohnya.
3.
Dapat
mengetahui dan memahami cara menerapkan metode penafsiran hukum.
4.
Dapat
mengetahui cara mengisi kekosongan hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penafsiran
Hukum (Interpretasi Hukum)
1.
Definisi
Penafsiran Hukum
Penafsiran atau
interpretasi hukum peraturan undang-undang ialah mencari dan menetapkan
pengertian asas dalil-dalil yang tercantum dalam undang – undang sesuai dengan
yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang (Soeroso,
2006:97).
Menurut Ridwan
Halim (2005:81) penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada dasarnya
menerangkan, menjelaskan, dan menegaskan, baik dalam arti memperluas maupun
membatasi atau mempersempit pengertian hukum yang ada, dalam rangka
penggunaannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi.
Berdasarkan
pendapat para ahli tersebut, penafsiran hukum sangat penting mengingat isi
undang-undang yang kadang tidak jelas susunan katanya, dan tidak jarang mempunyai
lebih dari satu arti. Oleh karena itu, penafsiran hukum terhadap undang-undang
merupakan suatu hal yang perlu dilakukan.
2.
Metode-Metode
Penafsiran Hukum
Terdapat
beberapa metode penafsiran atau interpretasi hukum, antara lain sebagai
berikut:
a.
Penafsiran Tata
Bahasa (Grammatikal)
Penafsiran tata
bahasa yang disebut juga penafsiran objektif merupakan cara penafsiran yang
paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan
menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Ketentuan
undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Hal ini tidak
berarti bahwa hakim terikat erat pada bunyi kata-kata dari undang-undang, penafsiran menurut bahasa ini juga harus
logis.
Contohnya,
pasal 372 kata “memiliki” dan “menggelapkan” dalam pasal 372 tidak selalu
mengandung sifat bermanfaat bagi diri pribadi. Perbuatan terdakwa tidak
merupakan penggelapan akan tetapi suatu kasus perdata.
b.
Penafsiran
Sahih (Autentik atau Resmi)
Penafsiran
sahih atau autentik adalah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata
sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang. Contohnya, pada pasal
98 KUH Pidana : malam berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari
terbit dan pada pasal 97 KUH Pidana : hari adalah waktu selama 24 jam dan yang
dimaksud dengan bulan adalah waktu selama 30 hari.
Penafsiran
secara resmi berasal dari pembentuk undang-undang itu sendiri, bukan dari sudut
pelaksana hukum yakni hakim. Dalam penafsiran ini, kebebasan hakim dibatasi.
c.
Penafsiran
Historis
Penafsiran
historis merupakan penafsiran yang dilakukan dengan ketentuan hukum yang
didasarkan pada jalannya sejarah yang mempengaruhi pembentukan hukum tersebut.
Pewarisan historis terdiri atas dua macam, yaitu:
1)
Sejarah hukum,
yaitu suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memahami undang-undang dalam
konteks sejarah hukum. Pemikiran yang mendasari ditetapkannya metode ini adalah
anggapan bahwa setiap undang-undang selalu merupakan reaksi dari kebutuhan
sosial yang memenuhi pengaturan. Setiap pengatur dapat dipandang sebagai
langkah dalam perkembangan sosial masyarakat sehingga langkah itu maknanya
diketahui. Hal ini meliputi semua lembaga yang terlibat dalam pelaksaaan
undang-undang.
2)
Sejarah
undang-undang, yaitu penafsiran undang-undang dengan menyelidiki perkembangan
suatu undang-undang sejak dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi di
legislatif, maksud ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk undang-undang
pada waktu pembentukkannya.
Contohnya,
Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan perundang-undangan. Ketika
dalam suatu materi undang-undang membutuhkan interpretasi maka salah satu
metode digunakan adalah metode historis. Artinya meminta keterangan dari
anggota legislatif yang menetapkan atau terlibat dalam proses pembentukan
undang-undang sampai pada keputusan dalam lembaga legislatif.
d.
Penafsiran
Sistematis
Penafsiran
sistematis merupakan penafsiran yang didasarkan atas sistematika pengaturan
hukum dalam berhubungannya antar pasal atau ayat dari peraturan hukum itu
sendiri dalam mengatur masalahnya masing-masing. Contohnya, jika hendak
mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan diluar perkawinan oleh
orang tuanya tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan dalam KUHP perdata
saja, tetapi harus dihubungkan dengan pasal 278 KUHP, yang berbunyi “barang
siapa mengaku seorang anak sebagai anaknya menurut KUHP perdata, padahal
diketahui bahwa ia bukan bapak dari anak tersebut, diancam dengan...”
e.
Penafsiran
Nasional
Penafsiran
nasional merupakan penafsiran yang menilik sesuai tidaknya hukum yang berlaku. Contohnya,
hak milik pasal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik sistem
hukum Indonesia.
f.
Penafsiran
Teleologis atau Sosiologis
Penafsiran
teleologis atau sosiologis merupakan penafsiran berdasarkan maksud atau tujuan
dibuatnya undang-undang tersebut, mengingat kebutuhan manusia semakin meningkat
dan selalu berubah menurut masanya, sedangkan bunyi undang-undang tetap dan
tidak berubah. Contohnya, di Indonesia masih banyak peraturan yang berlaku dan
berasal dari zaman kolonial sehingga untuk menjalankan perarturan tersebut,
hakim harus dapat menyesuaikan dengan keadaan masyarakat pada saat sekarang
ini.
g.
Penafsiran
Ekstensif (Luas)
Penafsiran
eksternsif atau luas merupakan penafsiran yang bersifat memperluas isi
pengertian suatu ketentuan hukum dengan maksud agar dengan memperluas tersebut,
hal-hal yang tadinya tidak termasuk dalam ketentuan hukum tersebut dan belum
ada ketentuan hukum lain yang mengaturnya, dapat dicakup oleh hukum yang
diperluas tersebut.
Contohnya, pada
pasal 492 KUHP Pidana ayat (1) “barang siapa dalam keadaan mabuk di muka umum
merintangi lalu lintas, atau mengganggu ketertiban, atau mengancam keamanan
orang lain, atau melakukan suatu yang harus dilakukan dengan hati-hati atau
dengan mengadakan tindakan penjagaan tertentu lebih dahulu agar jangan
membahayakan nyawa atau kesehatan orang lain, diancam dengan pidana kurungan
paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh
lima rupiah.
h.
Penafsiran
Restriktif
Penafsiran
restriktif atau membatasi merupakan penafsiran yang membatasi pengertian suatu
ketentuan hukum dengan maksud agar dengan pembatasan tersebut, ruang lingkup
pengertian ketentuan hukum tersebut tidak lagi menjadi terlalu luas sehingga
kejelasan, ketegasan, dan kepastian hukum yang terkandung didalamnya akan lebih
mudah diraih.
Contohnya,
menurut interpretasi grammatikal kata “tetangga” dalam pasal 666 KUHP Perdata
dapat diartikan setiap tetangga termasuk seorang penyewa dari perkarangan
tetangga sebelah. Kalau tetangga ditafsirkan tidak termasuk tetangga penyewa,
ini merupakan interpretasi restriktif.
i.
Penafsiran
Analogis
Penafsiran analogis merupakan penafsiran yang memberikan tafsiran
pada peraturan hukum dengan mengibaratkan pada kata-kata tersebut sesuai dengan
hukumnya. Sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dimasukkan, lalu
dianggap sesuai dengan peraturan tersebut.
Contohnya,
pasal 362 KUH Pidana yakni barang siapa “mengambil” barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki
secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Atas kasus
pencurian menyambung aliran listrik, maka “menyambung” aliran listrik
dianalogikan atau dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik.
j.
Penafsiran a Contrario
Penafsiran a
Contrario merupakan penafsiran yang berdasarkan pengertian atau kesimpulan yang
bermakna sebaliknya dari isi pengertian ketentuan hukum yang tersurat.
Contohnya, pasal 34 KUH Perdata menyatakan bahwa seorang wanita tidak
diperbolehkan kawin lagi sebelum waktu 300 hari sejak saat perceraian. Apakah
seorang laki-laki juga menunggu waktu 300 hari? Berdasarkan metode a contrario
maka dapat dikatakan bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki-laki,
karena masalah yang dihadapi tidak diliputi atau tidak termasuk dalam pasal
atau masalahnya berada di luar pasal 34 KUH Perdata. Pasal 34 KUH Perdata tidak
menyebutkan apa-apa tentang laki-laki tetapi khusus ditunjukkan untuk wanita.
3.
Cara Menerapkan
Metode Penafsiran
Dalam
melaksanakan penafsiran peraturan perundang-undangan pertama-tama harus selalu
dilakukan penafsiran grammatikal, karena pada hakikatnya untuk memahami teks
peraturan perundang-undangan harus dimengerti lebih dahulu arti katanya.
Apabila perlu dilanjutkan dengan penafsiran otentik atau penafsiran resmi yang
ditafsirkan oleh pembuat undang-undang itu sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan
penafsiran historis, penafsiran sistematis, penafsiran nasional, penafsiran
teleologis atau sosiologis, penafsiran ekstensif, penafsiran restriktif,
penafsiran analogis dan penafsiran a contrario.
B.
Pengisian
Kekosongan Hukum
1.
Hakim Memenuhi
Kekosongan Hukum
Dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan
pada kenyataan memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat peraturan
perundang-undangan tersebut dinyatakan berlaku namun hal-hal atau keadaan yang
hendak diatur oleh peraturan perundang-undangan tersebut justru sudah berubah.
Selain itu, kekosongan hukum dapat terjadi apabila hal-hal atau keadaan belum
diatur dalam peraturan perundang-undangan, atau sudah diatur dalam peraturan
perundang-undangan namun tidak jelas atau tidak lengkap.
Peraturan
perundang-undangan yang berlaku disuatu negara dalam suatu waktu tertentu
merupakan suatu sistem yang formal sehingga sulit untuk mengubah atau
mencabutnya, meskipun hal-hal atau keadaan masyarakat sudah tidak sesuai lagi
dengan peraturan perundang-undangan tersebut.
Penegakan dan
penerapan hukum khususnya di Indonesia seringkali menghadapi kendala dengan
perkembangan masyarakat. Berbagai kasus yang terjadi dimasyarakat, telah
menggambarkan sulitnya penegak hukum atau aparat hukum mencari cara agar hukum
dapat sejalan dengan norma yang ada. Namun perkembangan masyarakat lebih cepat
daripada perkembangan peraturan perundang-undangan. Kenyataannya hukum atau
peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh masalah yang
terjadi dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan
masalah tersebut.
Berkaitan
dengan fenomena tersebut, hakim dituntut untuk memperbaiki undang-undang tersebut, agar sesuai dengan kondisi riil
(kenyataan) kehidupan yang berkembang dalam masyarakat. Hakim sebagai pemegang
kekuasaan yudikatif berkewajiban memberikan pertimbangan dalam pelaksanaan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai peraturan umum. Dalam
memberikan pertimbangan, adakalanya hakim menambahkan peraturan
perundang-undangan, maka hal ini berarti hakim memenuhi ruang kosong (leemten)
dalam sistem bukum formal dari Tata Hukum yang berlaku (Kansil, 1989:70). Hal
ini mengandung konsekuensi bahwa hakim dapat dan wajib memenuhi kekosongan yang
terjadi dalam sistem hukum, dengan catatan bahwa perubahan tersebut tidaklah
membawa perubahan yang mendasar (prinsipil) pada sistem hukum yang
berlaku.
a.
Konstruksi
Hukum
Konstruksi
hukum dapat dilakukan apabila suatu perkara yang diajukan kapada hakim, namun
tidak ada ketentuan yang mengatur perkara tersebut meskipun telah dilakukan
penafsiran hukum, sekalipun telah ditafsirkan menurut bahasa, sejarah,
sistematis dan sosiologis. Begitu juga apabila perkara tersebut tidak
terselesaikan oleh hukum kebiasaan atau hukum adat. Dalam hal itu, hakim harus
memeriksa kembali sistem hukum yang menjadi dasar lembaga hukum tersebut,
apabila dalam beberapa ketentuan mengandung kesamaan, maka hakim membuat suatu
pengertian hukum (rechtsbegrip) yang mengandung persamaan.
Membuat
pengertian hukum adalah suatu perbuatan yang bersifat mencari asas hukum yang
menjadi dasar peraturan hukum yang bersangkutan, adalah konstruksi hukum.
Konstruksi hukum tidak dapat diadakan secara sewenang-wenang, harus didasarkan
atas pengertian hukum yang ada dan dalam undang-undang yang bersangkutan.
Konstruksi hukum tidak boleh didasarkan atas analisir-analisir (elemen-elemen)
yang diluar sistem materi positif (Scholten, dalam Soeroso, 2006:111). Dalam
kostruksi hukum terdapat tiga bentuk yang meliputi analogi, penghalusan hukum
dan argumentum a contrario.
1)
Konstruksi
Hukum atau Penafsiran Analogis
Penafsiran
analogi dibutuhkan akibat perluasan hukum dengan menyesuaikan tempat, waktu,
dan situasi. Menganalogi merupakan penciptaan konstruksi baru, mempunyai
prinsip kesamaan permasalahan dengan analisir yang berlainan. Pada prinsipnya
analogi berlaku untuk masalah-masalah hukum perdata. Sedangkan untuk hukum
publik yang sifatnya memaksa tidak boleh dilakukan analogi karena terikat pada
pasal KUH Pidana. Pasal tersebut
menegaskan, bahwa seseorang tidak dapat dihukum, selain atas kekuatan ketentuan
pidana dalam undang-undang.
2)
Penghalusan
Hukum
Penghalusan
hukum dalam bahasa Belanda disebut rechtsverfijning, yang berasal dari
kata fijn yang berarti halus. Menurut bahasa Inggris, tindakan
penghalusan hukum lazim disebut refinement of the law. Penghalusan hukum
ialah memperlakukan hukum sedemikian rupa (secara halus) sehingga seolah-olah
tidak ada pihak yang disalahkan. Sifar dari penghalusan hukum adalah tidak
mencari kesalahan daripada pihak dan apabila suatu pihak disalahkan maka akan
timbul ketegangan. Namun Prof. Sudikno Mertokusumo (2006:71) lebih memilih
istilah penyempitan hukum. Penyempitan hukum bukan merupakan argumentasi untuk
membenarkan rumusan peraturan perundang-undangan. Kalau tidak dirumuskan secara
halus, maka rumusan dalam peraturan perundang-undangan terlalu luas.
Berdasarkan
tujuannya, hukum tidak boleh menyelesaikan suatu perkara secara tidak adil atau
tidak sesuai dengan realitas sosial. Namun kadang hakim tidak dapat menerapkan
suatu ketentuan tertulis karena jika diterapkan justru menimbulkan
ketidakadilan. Dalam hal ini, hakim terpaksa mengeluarkan perkara tersebut dari
lingkungan peraturan tadi, dan selanjutnya menyelesaikan perkara menurut kaidah
yang ia buat sendiri. Perbuatan mengeluarkan peraturan itulah yang oleh Utrecht
disebut penghalusan hukum. Contohnya, apabila terjadi tabrakan antara motor
dengan motor yang mengakibatkan keduanya mengalami kerusakkan parah. Keduanya
sama-sama salah dan harus membayar ganti rugi sehingga terjadi suatu
kompensasi.
3)
Argumentum a
Contrario (Pengungkapan secara Berlawanan)
Penafsiran
a Contrario adalah penafsiran undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran
artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur
dalam suatu pasal dalam undang-undang. bedasarkan pengingkaran ini ditarik
kesimpulan bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang
dimaksud, masalahnya berada diluar peraturan perundang-undangan.
Penafsiran a
contrario bertolak belakang dengan penafsiran analogis yang juga merupakan
suatu konstruksi hukum dengan maksud mengisi kekosongan dalam sistem
undang-undang. Berikut merupakan perbedaan antara penafsiran a contrario dan
penafsiran analogis.
No.
|
Penafsiran Analogis
|
Penafsiran a Contrario
|
1.
|
Memperoleh hasil yang posotif
|
Memperoleh hasil yang negatif
|
2.
|
Mempeluas berlakunya ketentuan hukum atau peraturan
perundang-undangan
|
Mempersempit berlakunya ketentuan undang-undang.
|
Selain
itu, ada beberapa persamaan antara penafsiran analogis dengan penafsiran a
contrario yaitu sebagai berikut :
a)
Penggunaan
undang-undang secara analogi dan argumentum a contrario sama-sama berdasarkan
konstruksi hukum,
b)
Kedua cara
tersebut sama-sama dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu masalah,
c)
Kedua cara
tersebut sama diterapkan sewaktu pasal dalam peraturan perundang-undangan tidak
menyebut masalah yang dihadapi (terdapat leemten di dalam peraturan
perundang-undangan),
d)
Maksud dan
tujuan antara dua cara tersebut ialah sama untuk mengisi kekosongan di dalam
undang-undang.
Contohnya,
Mochtar dan Arief Sidharta memberi contoh pajak bumi dan bangunan (PBB). Dalam
hal-hal tertentu si pemilik tidak mempunyai penghasilan lain selain tanah dan
bangunan. Tanah itu pun tidak bisa digarap karena ia sudah tua. Mengharuskan ia
membayar PBB akan menyebabkan ketidakadilan yang lebih besar dibanding
menerapkan undang-undang PBB secara kaku.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Penafsiran
hukum merupakan suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, dan
menegaskan, baik dalam arti memperluas maupun mempersempit pengertian hukum
yang ada, dalam rangka penggunaannya untuk memecahkan masalah atau persoalan
yang sedang dihadapi.
2.
Penafsiran
hukum memiliki beberapa metode yaitu : penafsiran tata bahasa (garammatikal),
penafsiran sahih (autentik/resmi), penafsiran historis, penafsiran sistematis,
penafsiran nasional, penafsiran teleologis/sosiologis, penafsiran ekstensif
(luas), penafsiran restriktif, penafsiran analogis, serta penafsiran a
contrario.
3.
Hakim yang
memegang kekuasaan yudikatif, ia berkewajiban memberikan pertimbangan dalam
pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan pertimbangan, hakim
dapat menambahkan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti bahwa hakim
memenuhi kekosongan hukum dalam sistem hukum formal dari tata hukum yang
berlaku.
4.
Konstruksi hukum
tidak boleh didasarkan atas analisir-analisir yang di luar sistem materi
positif. Konstruksi hukum terdapat tiga bentuk yang meliputi analogi,
penghalusan hukum dan argumentum a contrario.
B.
Saran
Hakim merupakan pemegang kekuasaan
yudikatif, ia memiliki tanggung jawab untuk mempertimbangkan pelakasanaan
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, diharapkan hakim untuk bersikap
adil dan lebih bijak dalam mengahadapi suatu kasus yang terjadi di masyarakat
tanpa memandang siapa yang sedang diadilinya.
DAFTAR PUSTAKA
Kansil,
C.S.T.(1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Soeroso,
R.(2006). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Rozieq.(2011).
Penafsiran Hukum. [Online]. Tersedia: http://kuliahhukum-rozieq.blogspot.com/2011/12/penafsiran-hukum.html
[31 Oktober 2013]
Lapananda Yusran.(2012).
Analogi dan a Contrario. [Online]. Tersedia: http://logikahukum.wordpress.com/tag/metode-konstruksi-penghalusan-hukum-yaitu/ [31 Oktober 2013]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar